Dalam dunia sepak bola ASEAN, isu pengaturan skor atau match fixing bukanlah hal baru. Sejak diluncurkannya Piala Tiger pada tahun 1996, berbagai skandal telah mencoreng reputasi turnamen ini. Salah satu kejadian paling mencolok terjadi di edisi pertama Piala Tiger di Singapura, di mana seorang pemain Filipina, Judi Saluria, berani melaporkan tawaran suap sebesar 50.000 dolar dari tiga orang penyuap. Berkat keberaniannya, ketiga pelaku berhasil ditangkap saat menyerahkan uang.
Dua tahun kemudian, insiden yang dikenal sebagai “sepak bola gajah” terjadi dalam pertandingan antara Indonesia dan Thailand. Kedua tim diduga bermain dengan sengaja buruk untuk menghindari lawan yang lebih kuat di semifinal. Hasilnya, Indonesia kalah 2-3, dan momen ini mengakibatkan sanksi dari FIFA kepada PSSI.
Pada tahun 2010, isu suap kembali mencuat saat Indonesia bertemu Malaysia di closing Piala AFF. Kekalahan 0-3 di leg pertama menimbulkan spekulasi mengenai pengaturan skor, meskipun tidak ada bukti konkret yang ditemukan.
Kini, menjelang Piala AFF 2024, dugaan suap kembali terungkap, kali ini melibatkan kiper Kamboja, Virak Dara, yang dituduh melakukan blunder deadly dalam pertandingan melawan Singapura. Ketua Federasi Sepak Bola Kamboja meminta kejujuran dari para pemain, namun Nick Taylor, rekan satu tim Virak, membantah adanya pengaturan skor.
Skandal-skandal ini menggambarkan tantangan besar dalam menjaga integritas sepak bola di ASEAN. Meskipun berbagai langkah telah diambil untuk mengungkap praktik ilegal, isu pengaturan skor masih menjadi momok yang sulit dihilangkan. Dalam konteks ini, masyarakat perlu terus mendorong transparansi dan kejujuran dalam olahraga demi masa depan yang lebih baik bagi sepak bola ASEAN.